my journey

my journey

Minggu, 20 Oktober 2013

Gunung Padang

Hari kemerdekaan kemarin (17 Agustus 2013) kami peringati dengan melakukan perjalanan ke situs terbesar di Asia Tenggara yaitu Situs Megalitikum Gunung Padang. Situs yang memiliki 5 tingkatan ini diperkirakan dibangun pada 10.000 SM untuk tingkat ke 5 dan 4 nya. Sedangkan tingkat ke 3, 2 & 1 dibangun sekitar 4000 SM (sumber dari bapak guide).
 
Gunung Padang terletak di Desa Sukamukti, Cianjur. Kami berangkat dari Jakarta tepatnya di halte seberang Trakindo, Cilandak pada pukul 06.30 WIB (molor 30 menit dari target awal) menggunakan mobil yang kami sewa. Kali ini rombonganku terdiri dari 7 wanita (termasuk aku), yaitu @Siachiii, @liliamrina, @My_isna, Rini, Imah dan Wita. Awalnya kami akan mengambil jalur puncak untuk menuju ke Cianjur. Tapi berdasarkan saran dari bapak supir yang katanya warga Bogor ini, akhirnya kami memilih lewat Cileungsi dan Jonggol. Dan ternyata saran si bapak ini mantap juga. Jam 09.00 WIB kami sudah tiba di Cianjur. Bahkan ia sendiri cukup girang dengan pencapaian yang jarang dialaminya itu, walaupun air muka penumpang yang duduk di belakang sedikit mulai membiru karena tegang (si bapak nyetirnya ngebut euyy....).

Dari pertigaan Cianjur, kami mengambil arah jalan raya Sukabumi menuju Warung Kondang. Dan selanjutnya kami tinggal mengikuti petunjuk arah Situs Megalitikum Gunung Padang sampai ketemu pertigaan yang memberikan petunjuk untuk belok kiri. Dari pertigaan tersebut Situs Gunung Padang masih berjarak 8 KM lagi. Jalanan di awal belokan ini sih mulus, tapi setelah 500 M mulai membuat tubuh shacking alias jalanannya rusak. Apalagi begitu mulai memasuki area perkebunan teh. Di beberapa ruas jalan ada yang cukup parah rusaknya. Perjalanan 8 KM itupun kami tempuh selama 1 jam, karena si bapak supir lebih berhati-hati demi menjaga stabilitas penumpang :D.

Tepat jam 11.00 WIB, kami tiba di Situs Megalitikum Gunung Padang. Alhamdulillah, pengunjung hari itu tidaklah banyak, jadi kami bisa parkir di dekat loket (biasanya area ini hanya untuk kendaraan roda dua alias motor). Setelah membeli tiket seharga Rp. 2.000,- per orang dan meminta salah satu guide  untuk mengantar, kami pun mulai menaiki tangga menuju Situs.

Gerbang Situs Megalith Gunung Padang (Photo by @My_Isna)

Loket tiket masuk dan tangga menuju situs

Tangga menuju situs ini ada 2 yaitu tangga asli dari situs dengan kemiringan sekitar 70 derajat serta jarak setiap anak tangga yang cukup tidak ergonomis dan tangga yang baru setahun dibuat untuk kenyamanan pengunjung berada di sisi kanan tangga asli. Melihat terjalnya tangga asli, kami memilih tangga baru untuk naik dan tangga asli untuk turun nanti. 
Tangga baru yang lebih landai

Situs Gunung PadangTingkatan Pertama (teras)

Tingkat pertama

Tingkatan Kedua

Tingkatan ketiga, keempat dan kelima
 
Setiap batu yang tersusun berdiri, terdiri dari 5 batu



Tingkat kelima

Menhir yang dipercaya jika dapat mengangkatnya, maka niatnya dapat terkabul

Tingkat Pertama dilihat dari tingkat kedua
Di tingkat ketiga terdapat batu yang membentuk ukiran kujang dan tapak harimau. Batu dengan ukiran tapak harimau diyakini sebagai jejak yang ditinggalkan oleh Prabu Siliwangi yang konon dipercaya dapat berubah menjadi harimau.



Ukiran Kujang dan Tapak Harimau
Setelah puas melihat-lihat, kami pun turun dengan melalui jalur tangga yang asli. Ternyata kondisinya memang curam dan cukup berbahaya untuk turun. Berdasarkan info dari seorang teman yang baru-baru ini mengunjungi tempat tersebut, pengunjung sudah tidak diperbolehkan turun melalui tangga ini. Trip 17-an pun kami lanjutkan dengan sesi makan siang.

Tidak banyak warung yang menyediakan nasi beserta lauknya di sini. Hanya 1 warteg yang kami temui, sisanya hanya menjual mie rebus atau bakso. Entah karena bukan waktunya rame pengunjung atau memang begitu keadaannya. Yang pasti sebagian besar dari kami adalah wanita Indonesia asli yang doyan nasi dan belum makan jika belum kena nasi, otomatis satu-satunya warteg tersebut yang kami serbu walaupun lauknya hanya sekitar 3 macam saja. Whatever-lah yang penting pakai nasi :D.

Perjalanan kami lanjutkan ke curugCikondang setelah melakukan voting. Mengingat waktu perjalanan kembali ke Jakarta yang cukup memakan waktu, sebagai tour leader aku takut para wanita ini kemalaman di jalan. Awalnya target kami adalah stasiun tua dan curug Cikondang. Tapi setelah tanya-tanya lokasinya ternyata berlawanan arah dan letaknya berjauhan satu sama lain. Menurut perhitungan mba penjual baso, jarak dari Gunung Padang ke curug sekitar 6 KM dengan kondisi jalan agak rusak,. Sedangkan stasiun tua, memang lokasinya lebih dekat dari Gunung Padang dan merupakan arah yang kami lewati pada saat datang. Hasil debat memutuskan lebih baik lihat curug daripada stasiun. Akhirnya aku pun menyetujui dengan catatan tidak berlama-lama di curug karena targetku jam 5 sore kita sudah harus cabut menuju Jakarta kembali supaya tidak kemalaman.

Setelah bertanya-tanya sepanjang jalan, karena memang tidak ada petunjuk arah seperti Gunung Padang, 30 menit kemudian kami tiba di curug Cikondang. Untuk mencapai curug ini tidak perlu jalan jauh dari tempat kami parkir, karena sebenarnya sudah terlihat dari pinggir jalan. Jadi bisa dipastikan cukuplah 30 menit bermain di sini. Harga tiket masuknya ternyata lebih mahal dari Gunung Padang yaitu Rp. 3.000,- per orang.

Parahnya jalan menuju curug membuat kami turun dari mobil (Photo by @My_Isna)
Curug Cikondang

Curug Cikondang

Gerbang Curug Cikondang
Tepat jam 5 sore, kami berangkat kembali ke Jakarta. Alhamdulillah curug ini jalannya juga searah dengan jalur menuju Cianjur, jadi kami tidak perlu kembali melewati Gunung Padang. Walaupun kondisi jalannya tidak jauh berbeda rusaknya, tapi setidaknya kami bisa menghemat waktu. Perjalanan pulang pun kami tempuh dengan melalui jalur yang sama yaitu Jonggol - Cileungsi. Tadinya sih sempat kepingin lewat Puncak biar beda suasananya, tapi Alhamdulillah kami urungkan niat itu karena ternyata seorang teman mengabarkan kalau puncak macet total. 
Syukurlah, jam 9 malam kami sudah tiba kembali di titik awal berangkat yaitu Cilandak walaupun pakai mual dan posisi badan teroyak-oyak gak karuan. Yang penting sudah selamat dan terbebas dari bapak supir yang mungkin merupakan reinkarnasi dari Schumacher.

Mengunjungi tempat-tempat ini di hari kemerdekaan ke-68 membuat kami semakin mencintai Indonesia dengan segala kekayaannya. Pokoke Indonesia Selamanya...
 
Ki-ka : Rini, @liliamrina, Imah, @ariyadewi, Wita, @Siachiii, @My_Isna

Catatan keuangan :
1. Sewa mobil xenia + supir  = Rp. 500.000,-
2. Bensin pp = Rp. 216.000,-
3. Biaya tol + parkir = Rp. 50.000,-
4. Makan siang supir dan team = Rp. 88.000,-
5. Tiket masuk Gunung Padang @Rp. 2.000,- x 7 orang = Rp. 14.000,-
6. Tip tour guide = Rp. 50.000,-
7. Tiket masuk curug Cikondang @Rp. 3.000,- x 7 orang = Rp. 21.000,-
8. Overtime sewa mobil = Rp. 75.000,-
9. Tip supir = Rp. 50.000,-
10. Sarapan team = Rp. 80.000,-
Total pengeluaran = Rp. 1.144.000,- dibagi 7 orang = Rp. 163.429,-/orang

Sabtu, 05 Oktober 2013

Quiz E-Learning Rekayasa Sistem Operasi

Postingan ini dibuat karena kesulitan dalam meng-upload gambar di notepad untuk tugas kuliah saya.
Jawaban quiz no 2 untuk modul Processes & technology


Selasa, 13 Agustus 2013

Bromo - Sambil Nge-Jazz Kita Ngetrip

Jam 2 pagi kami siap tidur setelah berhasil pulang dari nonton Jazz Gunung. Kali ini kami tidur dengan kostum lengkap jaket, kaus kaki, ciput ninja dan topi kupluk. Bukan hanya untuk menghindari dinginnya udara dini hari itu, tetapi satu jam lagi kami akan dijemput Jeep yang telah kami pesan untuk melihat sunrise dan 3 spot lainnya di wisata Gunung Bromo.

Kemarin sore pada waktu tiba di hotel, kami ditawari wisata Bromo dengan tarif Rp. 150.000/orang untuk 5 spot wisata yaitu sunrise, puncak Bromo, Pasir Berbisik, Padang Savana dan Bukit Teletubies. Dan pagi itu tepat jam 3, pintu kamar kami diketuk oleh si makelar jeep. Sontak aku loncat dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu. Untunglah kami sudah berpakaian lengkap sehingga tidak perlu waktu lama untuk naik ke atas jeep dan segera berangkat. 

Ternyata kami adalah penumpang pertama yang dijemput karena lokasi hotel kami berada paling bawah (Ngadisari). Sedangkan penumpang lainnya menginap di daerah Cemoro Lawang yang posisinya lebih dekat dengan Penanjakan (spot untuk melihat sunrise). Ada 5 orang penumpang jeep selain kami. 3 orang mengenali kami, karena ternyata kami satu elf dari Probolinggo dan 2 orang lagi adalah pasangan yang baru kami kenal pagi itu.

Perjalanan pun dimulai dengan tujuan Pananjakan untuk berburu sunrise dengan latar 3 gunung yaitu Batok, Bromo dan Merapi. Hari itu lokasi ini begitu ramai dikunjungi wisatawan. Sebagian besar adalah tamu-tamu Jazz Gunung seperti kami. Sempat sedikit kecewa karena saking penuhnya, dan banyaknya talenan berdiri (kamera tablet) menutupi area bidikan kamera kami. Tapi dengan sedikit usaha manjat memanjat pagar dan sedikit ilmu sikut yang kudapat dari bekal menjadi 'AnKer' - Anak Kereta Jabotabek, akhirnya sunrise berhasil kubidik.
Sunrise di Pananjakan
3 Gunung di atas Awan (Batok, Bromo, Merapi)
Dari Pananjakan perjalanan dilanjutkan ke spot berikutnya yaitu Gunung Bromo. Ini bukan kali pertama aku mengunjungi Bromo dan sama seperti dulu aku tetap tidak mau naik kuda. Gengsi donk....masa kalah sama kuda. Bujukan unie yang terlihat lelah pun kutolak mentah-mentah. "Kalo loe mau naik kuda, ya udah naik aja. Gw ogah!" itu jawabku. Dan dengan mata nanar menatap kuda, akhirnya unie pun berkata "Gw naik kuda ya..." (nyerah doi...qiqiqi).

Setelah berjalan kurang lebih 30 menit, kami pun bertemu kembali di tangga menuju puncak Bromo. Waktu kami hanya singkat di sini karena ternyata hanya kami berdua yang menuju kawah Bromo. 5 penumpang lainnya lebih memilih sarapan di parkiran jeep.

Gunung Batok

Gunung Bromo

Parit Pasir

Tangga menuju Kawah Bromo

Kawah Bromo

Me & Unie berlatar Gunung Batok
Setelah Bromo selesai, perjalanan dilanjutkan menuju spot berikutnya yaitu Pasir Berbisik. Lokasi ini dinamakan Pasir Berbisik karena pernah dijadikan lokasi syuting filmnya Christine Hakim & Dian Sastrowadoyo berjudul Pasir Berbisik. 

Pasir Berbisik
Spot terkahir yang kami kunjungi adalah Padang Savana dan Bukit Teletubies yang ternyata berada di lokasi yang sama, hanya berseberangan saja. 
 
Bukit Teletubies

Padang Savana

Dan wisata kami berakhir tepat jam 10.00 WIB. Kami pun harus segera packing dan bersiap-siap kembali ke Surabaya. Pesawat ke Jakarta memang masih besok pagi, tetapi kami tidak mau kemalaman di jalan mengingat kami ngeteng naik bus. Dan benar saja, siang itu kami cukup lama menunggu elf yang akan membawa kami kembali ke Probolinggo. Guess what? We're the only passengers :D


Senin, 12 Agustus 2013

Indahnya Jazz, Merdunya Gunung

"Indahnya Jazz, Merdunya Gunung" slogan yang cukup menarik bukan? Slogan yang dikutip dari salah satu event musik Jazz yang membuatku penasaran setengah mati untuk menontonnya. "Jazz Gunung" suatu pagelaran musik Jazz yang diadakan di Bromo dengan konsep open stage berlatar Gunung Bromo. Mendengar konsepnya saja terbayang bagaimana serunya menikmati Jazz dengan suasana pegunungan yang dingin beratapkan langit dan berlantaikan rumput. Menghadiri event ini sudah menjadi keinginanku sejak tahun 2009, dimana merupakan tahun pertama kali event ini diadakan. Waktu itu aku hanya membaca hasil liputannya saja di salah satu media elektronik. Dan semenjak itu event ini menjadi salah satu target tripku.

Singkat cerita, aku mempersiapkan perjalananku sendiri. Aku mulai cari tiket pesawat untuk pulang terlebih dahulu. Kemudian memesan penginapan terdekat dari lokasi event, dengan pilihan single room yang bisa diisi maksimal 2 orang (untuk jaga2 kalau ada yang mendadak ikutan). Setelah itu baru aku beli tiket Jazz Gunung. Tahap terakhir adalah membeli tiket kereta untuk berangkatnya. Setelah membandingkan antara pesawat dan kereta, akhirnya aku memilih berangkat dengan kereta. Lebih murah dan tanpa biaya transportasi menuju stasiun. Cukup jalan kaki menyeberang dari depan kantor tempatku bekerja. Tapi kali ini aku menunda pembeliannya karena salah satu sahabatku Unie berniat ikut dan sudah membeli tiket pesawat yang sama dengan jadwal pulangku. Dia minta waktu hingga 2 minggu sebelum hari keberangkatan, untuk memastikan tidak ada jadwal dinas luar kota pada tanggal itu. Dan akhirnya trip ini kami lakukan berdua. Ini trip pertama yang kami lakukan hanya berdua. Ngeri juga kalau mitos perpecahan akibat trip bareng bakal terjadi pada kami. Semoga kami bisa selalu bersikap dewasa dalam menangani perbedaan di jalan....

21 Juni 2013 jam 19.30 WIB, kami berangkat dengan menggunakan Kereta Sembrani dari Gambir menuju Pasar Turi, Surabaya. Setelah hampir 11 jam berada di kereta, tibalah kami di kota Surabaya. Target selanjutnya adalah melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo dengan menggunakan Kereta Mutiara Timur. Jadwal keberangkatan kereta adalah jam 09.00 WIB dari stasiun Gubeng. Ternyata kami kehabisan tiket, dan terpaksa mengalihkan rencana ke terminal Bungurasih. Dari terminal Bungurasih, kami naik bus jurusan Surabaya - Jember dan turun di terminal Bayu Angga, Probolinggo. Kami berangkat dari Surabaya jam 10.00 WIB dan tiba di Probolinggo sekitar jam 12.30 WIB. Perjalanan dilanjutkan dengan naik elf ke Bromo. Kebetulan kami dapat elf yang sudah penuh, jadi tidak perlu menunggu lama untuk berangkat. Oiya, kapasitas elf ini adalah 20 orang plus supir. Dan mereka biasanya menunggu hingga minimal 15 orang baru mau jalan. 

Jam 14.00 WIB kami tiba di Yoschi's Guest House tempat kami menginap. Menurut informasi pihak Yoschi's, jarak dari hotel ke venue Jazz Gunung yaitu di hotel Java Banana adalah sekitar 1 Km. Ahhh...jarak yang kecil buat kami. Gak perlu sewa mobil atau ojeklah ya...jalan kaki aja sambil menikmati suasana pegunungan, begitulah pikiran kami. Dan setelah mandi serta makan siang yang dirapel juga sebagai makan malam (karena kami mulai makan jam 16.00), kami pun siap berjalan menuju venue. Tawaran tukang ojek dengan manis pun kami tolak.
Persiapan jalan menuju venue
10 menit berjalan menanjak mengikuti spanduk dan umbul-umbul di sepanjang jalan, kami mulai curiga, mengapa tidak terdengar suara musik sedikit pun ya? Sekali lagi bertemu tukang ojek yang menawarkan jasanya mengantar kami, dan sekali lagi dengan tegas kami menolak. Walaupun bapak tukang ojek mengatakan bahwa lokasi Java Banana Hotel masih jauh, tetap kami tidak mempercayainya. Lha wong kata orang hotel, cuma 1 Km je.... Jelas kami lebih percaya orang hotel. 30  menit sudah berlalu, suara musik pun masih belum terdengar. Kecurigaan kami semakin memuncak, 1 Km-nya bapak hotel itu sama dengan berapa Km kalau naik kendaraan ya? Dan ternyata sama dengan 1,5 jam jalan kaki santai, Juancukkk.... :)))

Jalan menuju venue
Terengah-engah masuk ke kawasan Java Banana yang mulai diguyur hujan, kami mulai mencari tempat penukaran tiket. Disaat yang bersamaan, para penontonnya bubar karena hujan turun semakin banyak (kalau istilah jawanya 'kecep'). Kami berdua terbengong-bengong melihat bubarnya penonton. Lah...baru sampai inih...kok bubar :'((( . Setelah tanya-tanya, ternyata istirahat dulu menunggu hujan reda sekaligus menjelang waktu magrib. Kami pun mencoba sabar menunggu ditemani dengan secangkir kopi hangat. Tanpa terduga, pada saat antri kopi, kok...kok..ada wajah yang kukenali. Dan disaat yang sama, wanita tersebut juga mengintip-intip melihat kepadaku. Setelah jelas terlihat, oalahhhh....teman satu kantor. Gak janjian, kok ya malah ketemu di sini. Udah jauh-jauh main ke Bromo, ketemunya teman-teman juga.

Jam 19.30 WIB hujan mulai reda, sebagian penonton mulai memasuki venue open stage, begitu pula dengan kami. Udara malam Bromo mulai menusuk tubuh kami. Tapi demi sebuah pagelaran hebat, kami rela dah....cailahh... Duduklah kami di bangku festival dengan posisi yang diperkirakan cukup bagus untuk mengambil foto. Tapi tiba-tiba...brusss...hujan turun kembali dan penonton pun bubar kembali ke tenda-tenda. Kami kembali ke venue setelah memastikan hujan sudah berhenti total dan alhamdulillah setelah itu langit pun bersahabat dengan dihiasi bintang dan bulan purnama. What a great night, in a great venue with fabulous music .... Fabiayyi alaa irobbikummaatukazzibaan (dan nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan).

Malam ini kami menikmati suara indah Sierra Soetedjo, musik kerennya Balawan and Batuan Ethnic Fusion, Bandanaira Duo, dan Yovie Widianto Fusion. Menonton dan menikmati musik jazz bukanlah hal yang baru buat kami. Tetapi menikmati jazz dengan latar Gunung Bromo, ditemani bintang dan bulan adalah sensasi yang sangat memukau dan tidak terlupakan. Begitu romantis...ditambah suasana dingin pegunungan. Ah...seandainya bukan Unie yang disebelahku....huhuhu...

Musisi pengisi hari pertama



Acara berakhir sekitar jam 24.00 WIB. Aku dan Unie mulai celingak celinguk mencari ojek yang masih berkeliaran. Kali ini kami mau naik ojek saja...cuapeee.....
Tapi apa daya, ini kampung bokk...jam segini mana ada ojek berkeliaran. Mending kemulan sama anak bini. Sekali lagi kami celingak celinguk, kali ini bukan mencari ojek tapi tebengan. Siapa tau ada yang melihat kami yang manis-manis ini bingung mau naik apa trus tertarik untuk kasih tebengan. Dan ternyata...kami tidaklah manis :( ...tidak ada satu pun yang menawarkan tebengan walaupun itu seorang ibu-ibu...hiks. Akhirnya kami pun nekat jalan kaki di kegelapan dengan bermodalkan senter yang aku bawa. Apa? senter? ah...bukan senter ternyata. Kalau senter masa nyala lampunya seperti lilin? tidak memberi kontribusi penerangan sedikit pun...*sigh* baterenya sekarat. Untunglah ada sinar bulan purnama yang menerangi...alhamdulillah ya....:D

5 menit berjalan kami mulai resah karena melewati hutan dan semak yang gelap. Aku mengajak Unie untuk berlari supaya cepat. Kebetulan jalan menurun. Baru beberapa langkah, Unie minta stop. Lebih cape katanya. Lagian kami tidak bawa minum juga *sigh. Kami pun mulai berniat untuk unjuk jempol kepada mobil-mobil yang lewat. Siapa tau ada yang berhati mulia.... "Gw yang ngasih jempol, loe yang bilang nebeng yak!" begitu kataku kepada Unie. Kami sempat berselisih lempar-lemparan tugas mengenai jempol ini. Dan akhirnya jempol pun hanya mampu menunjuk setengah tanpa terlihat oleh si empunya mobil. Kami pun pasrah, kembali berjalan. Sampai pada mobil terakhir, aku mencoba menengok ke mobil dengan muka memelas penuh harap tapi akhirnya kupalingkan wajahku kembali ke jalan, tidak mampu meminta. Tiba-tiba mobil tersebut memperlambat jalannya dan akhirnya berhenti tepat di samping kami. "Mau kemana mba?" begitu tanya mereka. Kami menjawab "Hotel Yoschi". Dan sekali lagi harus kuucapkan "Fabiayyi alaa irobbikummaatukazzibaan (dan nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan)". Mereka mengajak kami ikut naik mobil karena kebetulan mereka juga menginap di hotel yang sama. Alhamdulillah.....

*) Buat bapak supir dan mas-mas yang mengaku salah satu panitia Jazz Gunung dan memberikan kami tebengan malam itu, matur suwun sanget....semoga Allah membalas kebaikan kalian, aamiin..      


List Pengeluaran 21-22 Juni 2013:
1. Tiket Jazz Gunung (Festival) = Rp. 250.000,-
2. Kereta Sembrani Jkt - Sby = Rp. 375.000,-
3. Hotel Yoschi's (single room) = Rp. 215.000,- / 2 org = Rp. 107.500,-
4. Angkot dalam kota Surabaya = Rp. 17.000,-
5. Makan + Jajan selama 3 hari 2 malam = Rp. 150.000,-
6. Bus Surabaya - Probolinggo pp = Rp. 46.000,-
7. Elf Terminal Probolinggo - Bromo pp = Rp. 50.000,-
  
Cont.... Bromo  

Sabtu, 19 Januari 2013

Angkor - Menyusuri Situs Warisan Dunia


15 November 2012,
Pagi ini tepat jam 05.00 WIB kami bertemu dengan Mr. Seila - supir Tuk-tuk yang direkomendasikan banyak traveler di situs TripAdvisor - yang akan mengantar kami keliling Angkor. Dengan Mr. Seila, kami tidak akan menyewa Tuk-tuk untuk kebutuhan kami berdelapan. Melalui penawarannya kami memutuskan menyewa minivan berkapasitas 12 orang seharga $30, hampir sama dengan tarif menyewa dua buah Tuktuk untuk 7 orang (kapasitas sebuah Tuk-tuk adalah 4 orang) yaitu sekitar $30 - $32. Lebih nyaman, lebih tertutup dan berAC bukan Angin Cuex tapi Air Conditioner aseli...
 
Sekelumit Sejarah Negeri yang Hilang 
Kata "Angkor" berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti kota suci. Angkor merupakan pusat pemerintahan Imperium Angkor atau Khmer pada periode 802 - 1431 Masehi. Periode Angkor dimulai pada 802 Masehi, ketika Jayawarman II pulang dari pengasingannya di Pulau Jawa, untuk merebut kembali takhta kekuasaannya. Setelah bertempur selama 12 tahun dan menyatukan kelompok-kelompok yang terpisah, ia pun membangun Angkor sebagai ibukota Imperium Khmer. Kota yang terletak di sebelah selatan Danau Tonle Sap atau di sekitar wilayah Siem Reap saat ini.

Pada zaman keemasannya Khmer membangun candi-candi megah yang terkonsentrasi pada suatu kawasan seluas sekitar 24 kilometer persegi. Di area inti ini terletak candi-candi yang paling terkenal diantaranya Angkor Thom, Ta Phrom dan tentu saja Angkor Wat.

Menurut ahli sejarah, kota Angkor adalah kota terbesar di dunia pada periode praindustri. Pada era kejayaannya kota ini dihuni lebih dari 1 juta manusia. Luas wilayah kota Angkor kuno ini setidaknya mencakup 1000 kilometer persegi atau sekitar 1,5 kali luas wilayah DKI Jakarta. Hal ini dibuktikan dengan sisa-sisa jaringan jalan dan kanal yang menunjukkan konektivitas di wilayah tersebut.

Pembangunan candi-candi megah di Angkor baru dimulai 200 tahun setelah Imperium Khmer berdiri. Suryawarman II (memerintah pada 1113 - 1150) adalah raja yang menggagas dibangunnya Angkor Wat. Setelah mengonsolidasi kekuasaannya melalui diplomasi dan kekuatan militer, ia membangun Angkor Wat sebagai mausoleum untuk dirinya sendiri. Pembangunan candi paling megah di kompleks Angkor tersebut hanya memakan waktu 30 tahun.

Setelah pembangunan Angkor Wat, Imperium Khmer mengalami banyak periode pasang surut. Namun Angkor kembali berkilau pada masa Jayawarman VII (memerintah pada 1181 - 1200). Raja Khmer yang terbesar itu kemudian membangun Angkor Thom serta candi-candi terkenal lainnya sepeti Bayon, Ta Phrom dan Preah Khan.

Imperium Khmer berakhir pada 1431, masa ketika Angkor diinvasi Ayutthaya. Banyak ahli percaya, setelah kejatuhan Angkor, kota kuno itu benar-benar ditinggalkan penduduknya. Angkor baru ditemukan lagi pada akhir abad ke-19 oleh penjelajah dari Eropa. Namun tentunya para penjelajah asing itu bisa menemukan Angkor karena mendapt informasi dari penduduk lokal.
(Dikutip dari Buku Backpacking: Vietnam dan Cambodia, Hairun Fahrudin, PT Elex Media Komputindo, 2012)

Harga tiket masuk ke situs arkeologi Angkor ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu :
  1. $20 untuk 1 hari kunjungan (one day pass)
  2. $40 untuk 3 hari kunjungan (three days pass)
  3. $60 untuk 1 minggu kunjungan (one week pass)
Tiket masuk ini dilengkapi dengan foto si pengunjung. Jadi pada saat membeli tiket, semua pengunjung harus ikut mengantri satu persatu untuk difoto. Kalau mau bagus, harus sadar kamera. Pokoke begitu tiba giliran maju ke loket, langsung pasang muka senyum narsis. Terlambat sedikit, penjaga loket akan langsung pencet tombol foto tanpa ada aba-aba sama sekali. Hmmm disini baru terasa kegunaan insting 'sadar kamera' :D.
Ini dia bentuk tiket 1 hari kunjungan (one day pass)
Mengunjungi Angkor memang tidak akan cukup waktunya jika hanya dilakukan dalam 1 hari mengingat begitu luasnya kompleks candi tersebut. 2 hari pun masih belum cukup jika berminat untuk mengetahui detil cerita dari tiap-tiap candi. Tapi buat kami, cukuplah 1 hari kunjungan saja. Kami pilih candi-candi yang memang terkenal saja, karena waktu kami memang terbatas. Candi yang kami kunjungi adalah Angkor Wat, Ta Phrom, Bayon, Terrace of the Elephants, Baphuon dan Ta Keo.

Angkor Wat - Rumah Dewa
Menurut mitologi Hindu, Gunung Meru dipercaya sebagai pusat semesta dan menjadi tempat tinggal para dewa. Arsitektur Angkor Wat seolah membawa rumah para dewa itu ke muka bumi. Menara tertingginya diibaratkan Gunung Meru, dan Kanal yang mengitarinya diibaratkan lautan seperti digambarkan dalam mitologi Hindu. Keindahan Angkor Wat ini sudah sangat mahsyur. Karena keindahannya itu, tidaklah salah jika disebut rumah dewa.

Photo from www.canbuypublications.com
Candi ini memang dipersembahkan untuk Dewa Wisnu, salah satu dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu, serta sekaligus sebagai mausoleum pendirinya yaitu Suryawarman II. Hindu adalah agama resmi Imperium Khmer sebelum mereka berpindah menjadi pemeluk Budha. 

Memasuki Angkor Wat kami harus berjalan di atas lintasan yang menyeberangi kanal dan setelah gerbang, jalan terus akan ditemukan kolam yang katanya dapat merefleksikan cahaya matahar terbit. Di kolam inilah tempat dimana ratusan pengunjung melihat matahari terbit di Angkor Wat setiap harinya. Begitu pula dengan kami yang rela bangun jam 4 pagi demi mendapatkan view sunrise di Angkor Wat.

Sekitar pukul 05.15 kami mulai memasuki gerbang Angkor Wat dengan bermodalkan sebuah senter. Cukuplah 1 senter ini membantu penerangan kami selama berjalan masuk, karena banyak rombongan yang menggunakan senter dengan ukuran yang lebih besar sehingga, kami bisa nebeng ikut di belakang mereka hehehe...
Seperti pengunjung lainnya, kami pun mulai mencari tempat pewe (posisi uwenakk) untuk membidik matahari terbit. Tapi sepertinya prediksi Mr. Seila benar. Ia sempat mengatakan pada kami bahwa kemungkinan hari ini matahari terbit tidak akan terlihat jelas, karena beberapa hari belakangan Siem Reap diselimuti kabut setiap paginya. Walaupun ia berharap kami beruntung hari ini, tapi ternyata matahari memang malu-malu menyapa kami :(. Sedikit mengecewakan memang, karena kemungkinan kami untuk kembali ke sini cukup kecil. Tak apalah...menanti matahari di Angkor Wat bersama 6 orang wanita petualang sudah menjadi pengalaman yang menyenangkan ^-^.

Menunggu Matahari Terbit yang Tak Kunjung Muncul

Cahaya Matahari Berpendar dan Tertutup Kabut


Ketika Kabut Menipis dan Angkor Wat Mulai Terlihat

Cerahnya Langit Angkor setelah Kabut Menghilang
Jalur dibalik Gapura Angkor Wat



Relief Apsara




Setelah melihat matahari terbit, perjalanan dilanjutkan ke resto untuk sarapan pagi. Di sekitar Angkor Wat terdapat banyak restaurant dan sudah beroperasi dari pagi karena targetnya memang menyediakan sarapan pengunjung yang ingin menyaksikan matahari terbit. Tadinya kami meminta Mr. Seila mengantar kami ke muslim resto. Tetapi ternyata resto muslim terdekat terdapat di Siem Reap, jadilah kami diantar ke vegetarian resto yang berada dideretan resto sekitar Angkor Wat. Walaupun vegetarian resto, tapi kami masih melihat ketidakhalalan dalam list menu mereka. Akhirnya kami hanya memesan sebuah roti, telur dadar, kopi dan teh saja daripada habis waktu untuk pindah resto. Roti dan telur dadar kami makan beramai-ramai. Aku hanya sedikit mencicipi telur dadarnya. Entah mengapa langsung hilang feeling begitu melihat nama binatang gendut berlubang hidung besar dalam list menu. Meski pelayan bilang dimasak dengan menggunakan pan yang terpisah, tetap saja...lidah dan perutku tidak bisa menerimanya. Aku memilih makan roti tawar yang kami beli di minimarket semalam.

Kami melanjutkan penyusuran situs warisan dunia ini, dengan rute yang berlawanan dengan alur yang biasa dilakukan pengunjung. Biasanya setelah sarapan, pengunjung akan kembali ke Angkor Wat dan melihat bagian dalamnya dengan lebih detil. Sedangkan kami akan memulai penyusuran dari Ta Phrom yang terletak beberapa kilometer dari Angkor Wat. Setelah berpisah dengan Mr. Seila, yup ia menyerahkan kami kepada supir Elf dan memastikan bahwa si supir sudah dikoordinir mengikuti itinerary yang telah kami setujui bersama dengannya. Mr. Seila bukanlah supir Tuk-tuk biasa, ia sudah berhasil mengembangkan karirnya menjadi travel organizer dan kami cukup senang karena ia menyempatkan diri bertemu serta mengantar kami walau hanya sejauh ini. Kami setuju dengan para traveler yang banyak merekomendasikannya, karena pelayanannya memang pantas diacungi jempol.
Masuk ke dalam Angkor Wat menjadi jadwal terakhir kami. Saat kami mengunjungi Angkor, beberapa candi sedang mengalami pemugaran yang disponsori oleh UNESCO dan dibantu oleh negara-negara lain. Adanya pemugaran tersebut mengakibatkan penutupan pada beberapa titik yang sedang dalam proses pengerjaan. Salah satu yang sedang dipugar secara besar-besaran adalah Ta Phrom. Candi yang dibeberapa bagian menempel pada akar pohon besar ini memang harus segera dipugar sebelum hancur.

Ta Phrom
Candi ini dibangun oleh Jayawarman VII untuk menghormati ibunya. Relief candi didominasi dengan figur Pradnyaparamita, yaitu dewi yang melambangkan kebijaksanaan. Ta Phrom adalah candi ketiga terpopuler setelah Angkor Wat dan Bayon. Angelina Jolie telah membuat candi ini begitu populer sebagai setting dalam film Tomb Raider. Saking terkenalnya, kalau datang lebih siang candi ini akan dipenuhi oleh pengunjung. Bahkan untuk mengambil foto pun harus mengantri. Oleh karena itu kami memilih candi ini di list pertama penyusuran kami setelah sunrise Angkor Wat.






Ta Keo
Candi Ta Keo sedikit berbeda dengan candi lain yang memiliki ornamen pada dindingnya. Pada candi ini hampir semua dindingnya polos. Katanya sih karena kesalahan dalam memilih batu. Batu yang digunakan untuk membangun candi ini tidak dapat dipahat. Di sini kita bisa melihat pemandangan sekitar Angkor karena candi ini mempunyai puncak yang sangat tinggi. Kebetulan langit di hari ini sangatlah cerah. Tertariklah kami untuk mendaki candi tersebut. Begitu pula dengan aku yang begitu semangat mulai menapaki tiap anak tangga. Tapi baru beberapa anak tangga dan ups!!...kaki terasa ngilu, keringat deras mengucur dan rasa takut mulai menghampiri begitu melihat tangga yang curam dan kecil itu.
Tangga yang tinggi dan curam
Ta Keo terlihat dari luar
Aku memang memiliki ketakutan pada ketinggian atau disebut dengan istilah acrophobia. Tetapi biasanya sifat sok beraniku bisa mengalahkan rasa takut itu. Makanya selama ini, naik gunung ataupun gedung tinggi masih bisa kulakukan. Kali ini, sumpah deh...nyerahhhh *melambaikan tangan ke kamera. "Oemjih....mamah...kalau bisa sediain perosotan aja biar aku gak perlu turun lewat tangga!" jerit suara hatiku saat itu. Tapi tidak akan ada perosotan ataupun helikopter untuk menurunkan aku saat itu. Aku tetap harus kembali ke anak tangga T_T.... Aku pun melipir duduk di bagian yang kira-kira aman sambil mengumpulkan keberanian untuk turun kembali. Tidak...aku tidak akan memilih naik karena aku merasa kondisi semakin tidak aman. Dan ternyata aku tidak sendirian, Pagit yang posisinya lebih di atas sedikit dari posisiku, juga memilih melipir dan selanjutnya turun hehehe... asikkk malunya ditemenin. Asty, Dita dan mba Umah yang memang dari awal memutuskan tidak naik, mencoba menyemangati proses turun kami dengan cara merayapi tiap anak tangga.
Hanya Ina dan Isti yang berhasil meninggalkan kami mencapai puncak. Katanya sih mereka sempat berpose seperti berada di atas awan. Arghhh...ngiri....

Bayon
Bayon candi kedua terpopuler setelah Angkor Wat. Candi ini terkenal dengan 37 tugu batu raksasa berbentuk berbagai ekspresi wajah yang menghadap ke empat penjuru arah mata angin. Kebanyakan ahli menyimpulkan wajah tersebut adalah wajah Jayawarman VII pendiri kompleks candi Angkor.
Tiga wajah dalam satu garis

Bayon
Berbeda dengan Angkor Wat yang memiliki relief mengenai mitologi Hindu, di candi ini reliefnya lebih menceritakan kehidupan masyarakat Angkor seperti suasana pasar, barisan tentara dan lain-lain.

Baphuon
Candi Baphuon adalah candi Hindu yang dibangun oleh Udayadityawarman II sekitar 1060 Masehi. Candi ini terletak tidak jauh, yaitu di sebelah timur laut Bayon dan disebut-sebut pernah menjadi monumen tertinggi di Angkor. Sebelum runtuh, ketinggiannya diperkirakan mencapai 50 meter. Sampai kini candi Baphuon masih dalam proses direstorasi. Oleh karena itu kami memutuskan untuk melihat dari luar saja. Males juga naik tangganya hehehe....
Baphuon
Terrace of the Elephants
Seperti namanya teras ini dihiasi ornamen gajah. Teras setinggi 2,5 meter itu terbentang sepanjang 350 meter di depan Baphuon dan Phimeanakas. Fungsi teras raksasa ini diperkirakan sebagai tribun untuk menyaksikan upacara kerajaan.




Terrace of the Elephants
Waktu telah menunjukkan pukul 12.30 WIB saatnya makan siang. Kami pun menghentikan sejenak penyusuran negeri Angkor tersebut. Supir minivan membawa kami ke sebuah Muslim resto di daerah perkampungan Muslim di Siem Reap. Penjualnya berdarah melayu berbahasa Khmer. Sebagian penduduk di kampung ini adalah keturunan Melayu, jadi kami bisa berkomunikasi sedikit dengan mereka. Makanan yang tersedia di menu pun lebih banyak khas Melayu. Di sini terdapat pula Mesjid yang sulit sekali kami temukan di sepanjang jalan dari Ho Chi Minh sampai dengan Siem Reap. Mesjid terlihat sedikit kurang terawat kebersihannya. Tetapi lumayan besar untuk menampung warga sekampung yang ingin sholat di Mesjid.

Cambodian Moslem Resto
Selesai makan siang kami kembali diantar ke kompleks Angkor dan tujuan kami adalah meng-explore Angkor Wat. Cuaca hari ini sangatlah panas dan lembab. Mengelilingi Angkor Wat cukup menguras tenaga kami. Lelah, haus dan migrain pun mulai menyerang walaupun aku sudah menggunakan topi dan payung sebagai pelindung diri dari ganasnya panas matahari. Akhirnya, Angkor Wat adalah candi terakhir yang kami explore. Kami memutuskan untuk kembali ke Siem Reap, berbelanja kebutuhan makan malam untuk bekal perjalanan kami kembali ke Phnom Penh.

** Sedikit tips untuk mengetahui cerita detil dari tiap candi di Angkor tetapi dana yang dimiliki terbatas, mungkin tips ini cukup berguna. Merapatlah ke dalam rombongan yang menggunakan tour guide, terutama pada saat si tour guide sedang memberikan penjelasan. Biar tidak mencurigakan, pura-pura saja sedang mengamati dan mengambil foto tapi telinga tetap konsentrasi mendengarkan. Oiya, pilih tour guide dalam rombongan yang menggunakan bahasa Inggris ya...kecuali kamu lebih mengerti bahasa lain ^-^. 

Yessss!! kami ke Phnom Penh sore ini. Dari saran Edvin (pemilik hotel), kami memilih menggunakan minivan untuk perjalanan ke sana. Selain waktu keberangkatannya lebih sore dari jadwal bus (biasanya bus ke Phnom Penh berangkat pada jam 15.00 WIB dari Siem Reap) yaitu jam 5 sore, waktu tempuhnya pun lebih cepat 1 jam dari bus. Harga memang lebih mahal sedikit tapi tak apalah jika bisa membuat kami lebih leluasa dalam waktu untuk menjelajah Angkor.

Perjalanan dari Siem Reap ke Phnom Penh ataupun sebaliknya, baik menggunakan minivan ataupun bus, akan berhenti di resto untk istirahat makan. Tetapi tidak satu pun resto yang didatangi adalah resto halal. Jadi persiapkan diri dengan membawa bekal sendiri. Malam ini pun kami makan mie instant lagi. Murah meriah, cukup membayar air panas yang kami minta dari resto.

Perjalanan dari Siem Reap dengan menggunakan minivan, memakan waktu selama 5 jam. Saking lelahnya, begitu duduk mataku langsung terpenjam walaupun teman-teman yang lain merasa terganggu oleh penumpang yang berisik sepanjang perjalanan. Ditambah kegilaan supir yang menyetir dengan sangat ugal-ugalan. Daripada aku stress karena duduk persis di belakang supir, lebih baik aku tidur dan melupakan bahwa kami dalam kondisi yang cukup berbahaya, rawan terhadap kecelakaan. Pasrah sama Allah ajah...hihi... Pantas ya, beda waktu tempuhnya sampai 1 jam dibanding bus. Ternyata ada nilai lebih lainnya, yaitu pake stress :))

Kami tiba di Phnom Penh tepat jam 22.00 WIB. Menurut info Edvin, letak hostel kami tidak jauh dari perhentian akhir minivan. Tapi beginilah kelemahan wanita, suka salah dalam membaca peta. Entah mengapa tapi mitos itu benar adanya :p. Akhirnya kami menyerah dan memasrahkan diri pada supir Tuk-tuk. Ternyata cuma 1 belokan dari perhentian akhir tadi hihiy...dasar rejekinya supir Tuk-tuk. Dan tibalah kami di Velkommen Guesthouse Phnom Penh. Yup...kami memang memesan hostel yang kebetulan memiliki cabang di Siem Reap. Pemiliknya sama yaitu Edvin. Hanya saja yang di Phnom Penh di kelola oleh entah saudara atau adik ya? soale gak mirip pisan :D bernama Gavin.

Velkommen Guesthouse berseberangan dengan Velkommen Backpacker Hostel. Pemiliknya satu, hanya harga dan fasilitas yang membedakan. Di guesthouse kamar yang disediakan bersifat private room sedangkan backpacker hostel menyediakan dorm. Kami memesan 1 kamar untuk 6 orang dan 1 kamar untuk 2 orang. Tetapi karena tidak tersedia kamar lain, kami tidak bisa merubah pesanan tipe kamar setelah anggota kami berkurang 1. Tidak mungkin juga membiarkan 1 orang tidur di kamar sendiri. Akhirnya diputuskan aku sekamar berdua dengan Ina, yang kebetulan kamarnya terletak di lantai 4 (huffttt...gak ada lift lho) dan Pagit bergabung dengan Asty, Dita, Mba Umah serta Isti di kamar besar yang terletak di lantai 1. Eh iya, jadwal esok hari hanya keliling Phnom Penh seharian. Jadi malam ini kami bisa istirahat dengan tenang tanpa harus bangun di pagi buta yeayyyy..... Ahhh akhirnya bisa tidur dengan tenang.
Pengeluaran Hari 3 :
1. Tiket masuk Angkor = $20/orang = Rp. 195.000,-
2. Sarapan = $10,5/7 orang = Rp.  14.625,-
3. Sewa minivan utk keliling Angkor & Siem Reap = $30/7 orang = Rp. 41.786,-
4. Makan siang di Cambodian Moslem Resto = $29,5/7 orang = Rp. 41.089,-
5. Makan malam (mie instant, buah2an dan air mineral 1 liter/org) = $12,03/7orang = Rp. 16.756,-
6. Tiket Minivan Siem Reap - Phnom Penh = $11/orang = Rp. 107.250,-
7. Tuk-tuk dari perhentian akhir minivan ke Velkommen Guesthouse = $2/7 orang = Rp. 2.786,-
8. Velkommen Guesthouse Phnom Penh 2 hari, 1 kamar 3 double beds (utk 6 orang) $36 dan 1 kamar standard double (utk 2 orang) $16 = $104/7 orang = Rp. 144.857,-

Total pengeluaran hari 3 adalah Rp. 564.149,-
*)Catatan kaki : mata uang Kamboja adalah Riel, tetapi kamboja menerima USD sebagai pembayaran. Konversinya adalah 1 USD = 2.000 Riel. Jika membayar dengan USD, akan dikembalikan dengan Riel.

Alamat :
Cambodian Muslim Resto
#086 Steng Thmey Village
Sangkat Svay Dangkum, Siem Reap

Velkommen Guesthouse Phnom Penh
Tel: 077 757 701
Email : reservations@velkommenguesthouse.com
Website : velkommenguesthouse.com